Powered by Blogger.

SANDWICH TOAST

Feelings and thoughts of mine


Jangan hiraukan kata-kataku. Mereka tak sejujur hati yang dipasung rindu. Mereka hanyalah hitam yang menyembunyikan biru dan rayu yang menyamarkan perlu. Yang lagi pada akhirnya akan meninggalkan pilu. Bukankah setiap dari kita seperti itu? Rasanya hanya palsu yang mampu menunda waktu.

Jangan hiraukan kata-kataku. Pun jangan berani-berani melihat mataku. Aku bahkan tak akan sanggup menemuimu. Kau akan menemukan semuanya ketika sekilas saja merebut pandanganku atau hanya merekam bahasa tubuhku. Kau akan segera tahu apa gambar di balik kartuku.

Jangan hiraukan kata-kataku. Jangan hiraukan aku. Jangan tanyakan lalu, pun menuntut mau. Kau sendiri yang menyusun teka-teki di kepalaku. Kau sendiri yang membuatku terjerat ragu. Kau sendiri yang tak pernah memintaku untuk menunggu.

Jangan hiraukan kata-kataku. Berhentilah memberi apa yang kumau dan menerka apa yang kurindu. Jangan hiraukan kata-kataku. Biarkan mereka sendiri yang menghancurkan hatiku. Jangan kamu.
October 28, 2016 No comments


Menepilah sejenak. Ingat-ingat lagi apa yang pernah kita bicarakan. Bahkan pada lembar-lembar pertama kisah ini, yang kita ajak jalan bersama adalah ketidakpastian. Kita bersemangat untuk menerka garis kehidupan, membercandai takdir-takdir tak terduga yang bahkan tak sempat melintas sekalipun di pikiran. Lalu menantang semesta, seperti bagaimanapun jadinya kita tak akan pernah dikalahkan perputarannya. Kala itu, pancaran mata kita sepakat untuk tetap bergandengan meski nanti tak sesuai bayangan. Begitu, bukan?

Sekarang lihatlah seseorang dalam dirimu yang hampir terlupakan. Tengok apa yang hatinya ragukan. Ia dulu tak punya hal yang ditakutkan, pun dikhawatirkan. Ia tak pernah lelah mencari arah ketika disesatkan ketidakpastian. Tak kehabisan langkah meski tak memiliki banyak alasan. Bahkan masih tetap menjadi binatang liar penantang masa depan.

Pejamkan mata, tanyailah sosok yang tengah bersembunyi dalam bayangan. Apakah ia menyerah pada keadaan dan menyalahkan hidupnya yang tak lagi berjalan dalam lintasan. Apakah ia lupa bahwa ketidakpastian adalah kawan sejatinya, yang pernah ia ajak untuk menemaninya melanjutkan perjalanan.
October 21, 2016 No comments


Berbeda denganku, kau begitu menyukai penantian. Setiap sore pada jam yang selalu sama, kau akan terduduk di atap dan menanti senja. Kau tak pernah mengeluhkan detik-detik yang membosankan, dan tak pula kehabisan kesabaran untuk menunggu yang kau inginkan. Selalu tergenggam di tanganmu sebuah kamera, yang meski tak sebagus dan semahal milik kawanmu, itu akan terus menjadi favoritmu. Suasana hatimu akan selalu sama meski sekitarmu mungkin tak lagi menyenangkan. Kadang angin akan memberimu gigil dan flu, kadang nyamuk akan sangat tiba-tiba menyukai kakimu. Bahkan kau tak apa bila seringkali semesta tak mau berkawan. Hujanpun tak mampu menghalangimu. Kau hanya perlu berdiri menepi dan memegang payung, begitu pikirmu. Bagimu, pukul 17:11 sore adalah waktu kencan kita.

Berbeda denganmu, aku adalah perempuan yang tak punya kesabaran. Aku akan selalu menelepon kantor pos ketika suratmu tak datang di jam biasanya. Tak pernah bisa menunggu meski hanya beberapa menit yang berlalu. Pukul 07:41 pagi adalah waktu kencan kita, begitu kataku. Aku akan berlari turun menyusuri tangga dan menjemput surat darimu. Aku akan menghabiskan pagi dengan membaca puisimu dengan senja yang kau simpan untukku. Semacam itulah kencan kita.

Namun, sepertinya sekarang senja tak mau lagi kau simpan. Atau sepertinya kau lupa tak menempel perangko pada surat-suratmu. Atau, bisa saja pak pos menghilangkan suratmu. Atau ini, atau itu. Aku menuliskan semua kemungkinan-kemungkinan itu sebagai ganti membalas suratmu. Aku tetap membeli banyak amplop dan perangko, hanya untuk berjaga ketika surat-suratmu yang seharusnya terkirim berbulan-bulan lalu malah tiba di satu waktu, tentu aku akan kebingungan membalas satu-satu. Aku bahkan berpikir begitu.
Lalu waktu membawaku berjalan, dan perlahan meninggalkan semua itu. Hingga pagi tadi, ada sebuah surat di kotak pos. Dingin dan terasa asing.
Itu mungkin akan menjadi surat terakhir darimu. Ialah foto suatu senja, dengan kau bersama perempuan lain.
October 10, 2016 No comments


Sore itu aku melihatmu. Terbalut syal tipis dan coat favoritmu. Caramu menyisir rambut masih sama seperti dulu. Kau pun masih memakai sepatu pemberianku. Kau terduduk rapi di sudut kafe dengan secangkir kopi dan sepotong kue di mejamu. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Tapi, tetiba datang lagi kenangan itu di kepalaku.

Sore itu lagi-lagi aku mengingatmu. Menarik kembali ingatan-ingatan yang sebelumnya telah pergi berlalu. Tentang kau dan senyum manismu, tentang kau dan lesung pipitmu yang terus membayangiku. Sungguh aku tertegun memandangmu. Benarkah itu dirimu, mungkinkah itu benar-benar dirimu?

Sore itu aku dibuat kalah lagi olehmu. Kupikir perpisahan tiga tahun yang lalu telah menyelesaikan urusan hatiku. Kupikir tempat ini sudah cukup jauh untuk menghindarimu. Kupikir hilangnya kabarku bisa membuat kita tak lagi bertemu. Tapi sore itu, sekali lagi mataku menangkap bayangmu.

Sore masih membiarkan bulan menunggu. Aku pun masih tak bisa mengalihkan pandanganku darimu. Begitu juga kau. Tak sekalipun kau sentuh kopimu. Pun dengan kue yang mulai lelah menunggu gigitanmu. Kau hanya terdiam disana, tenggelam dalam lamunanmu. Entah apa yang sedang membebanimu, entah siapa yang tengah merenggut pikiranmu. Yang pasti, sesuatu itu bukanlah aku.

Sore itu jelas kau kembali membelah hatiku, mencabik lagi bagian-bagian yang dulu pernah terluka karenamu. Ketika kau tak mau lagi berjalan beriringan denganku. Ketika kau tak lagi menginginkan genggaman tanganku. Ketika kau memutuskan untuk tak ingin lagi bertemu denganku. Ketika kau bilang aku tak perlu lagi mengenalmu.

Sore sepertinya memang tak membiarkan waktu beranjak maju. Lantas mulai meradanglah hatiku. Kenangan-kenangan itu tetiba menyerang perasaanku. Ia lalu menusuki lagi hati yang membiru. Pedih-pedih itu datang kembali dan berhasil mengulitiku. Hingga semuanya sesak di paru, dan detik berikutnya jatuhlah air mataku. Pisau yang dulu memberiku luka kini kembali menyayatku.

Sore itu aku tak berani bahkan hanya untuk lebih lama lagi memandangmu. Kuseret kaki yang mulai kaku, kulangkahkan lagi pergiku untuk menghindarimu. Mencoba menghapus lagi dirimu dari hidupku. Mencoba meyakinkan lagi bahwa sore itu tak perlulah aku mendekatimu dan menanyaimu,

"Bagaimana kabarmu?"
July 30, 2016 No comments



Dan inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Kepingnya saling mencari peluk sisi sama sisi. Puingnya masih meraba-raba mana pasangan kanan kiri. Bukan hari ini dia rapuh melebur diri, hanya saja alarmnya berbunyi lagi -- membuatnya terkejut lalu menjatuhkan diri.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Ia terbelah jadi banyak porsi. Itu buatmu, ini buatnya, itu buat entah siapa lagi. Ia bukan ingin bermain api. Ia hanya belum sanggup lagi menyerahkan diri, membiarkan dirinya menjadi kata kerja paling dinanti. Ia masih ingin kamu mengerti, bahwa pagi ini ia tengah berusaha mengamini.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Ia merengek kesana kesini, mencoba meminta arti. Tapi tak kunjung pula kamu mengerti, bahwa ia pun belum menyadari. Jika ia adalah detik yang mengitari, ia bersemoga kamulah spasi yang memberi janji untuk nanti yang kita nanti. Jika ia adalah sesuatu yang tidak pasti, ia bersemoga kamulah titik yang mengakhiri.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Di sela kedip dan basah di pipi, ia masih mencoba berjalan kesana kemari, mencari apa yang belum disadari. Merasa perlu menangisi hal-hal yang tak kunjung ia pahami. Masih terus mencoba berdiri dan mengusap luka sendiri. Dan masih saja terlalu bodoh untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Tak hanya hari ini ia lelah menanyai diri sendiri. Bukan pertama kali juga ia mencoba menampar pipi sendiri. Berharap seperti di tv, bahwa ia akan segera bangun dari mimpi.

Dan terus bersemoga, ia tak akan menyakiti.
July 23, 2016 No comments


Kita belum sempat berbicara. Kau bahkan belum sempat mengucapkan salam ketika pertama kali mengetuk pintu depan. Kala itu aku tengah dibuai malam, meresapi pesan-pesan dari bintang yang dibawa angin selatan. Akupun belum selesai mengartikan semuanya ketika aku mempersilakanmu untuk masuk dan berjalan mendekat.

Kita tak berbicara. Pun waktu itu ketika kau membuka kemejamu di depanku dan memperlihatkan luka di punggungmu. Kau tunjukkan pula tulang-tulangmu yang patah, kulit-kulit yang memerah. Benar di beberapa kesempatan mata kita bertemu. Aku masih ingat matamu. Mata yang berbinar ketika diterpa sinar bulan. Mata yang ingin berkata-kata. Tapi tetap saja, kita tak pernah berbicara. Kau tak pernah mengatakannya.

Kita benar-benar tak pernah berbicara. Bahkan ketika suap demi suap membuatmu sembuh, ketika teguk demi teguk menguatkanmu, hingga ketika langkah-langkah barumu mulai meninggalkan pintu itu. Bahkan kau tak pernah mengatakannya, hingga datang pagi-pagi selanjutnya tanpamu di depan pintu lagi.

Kita tak pernah berbicara. Kau tak pernah sanggup mengatakannya. Akupun tak berani menanyakannya. Lalu masih layakkah kita disebut bercinta jika hanya mata kita yang saling bercumbu? Masih pantaskah kita disebut pecinta jika semua kata-kata cinta hanya berbicara di dalam kepala kita?

Pagi tadi aku baru menyadarinya. Kau bukan pergi meninggalkanku. Dari awal kau memang tak berniat memintaku untuk menemanimu terbang. Kau datang untuk meminta pertolongan. Hingga ketika sayap-sayap itu sembuh, kau pulang.

Jadi seperti inilah cerita tanpa kata-kata. Karena ternyata memang tak ada yang perlu dikatakan
July 16, 2016 No comments


Aku serupa jam 4 pagi dan kau jam 10 malam. Hidup kita penuh dengan keheningan dan perbedaan. Kau hidup di masa laluku sedang kau melihatku sebagai masa depan, pun terkadang sebaliknya. Mereka yang gigih memilihmu untuk melelapkan mata dan memilihku untuk mulai berkarya. Tapi mereka yang tengah berada di usia 22 memilihmu untuk pergi menghadiri pesta dan memilihku untuk mengakhirinya.

Seharusnya cukup mudah untuk kita saling menatap, sejak kita berada dalam satu garis waktu yang sama. Namun kenyataannya matahari tak pernah membantu menampakkan kita, pun lampu-lampu mereka. Rasanya memang semesta tak mendukung kita.

Kita sama-sama tahu permasalahan kita. Kita buta tetapi selalu berusaha menyangkalnya. Kita tak berdaya tapi selalu berpura-pura bisa. Harusnya pun kita menghapus harap yang ada, tapi pada kenyataannya kita terus saja menumbuhkannya.

Lama-lama kita makin tak pandai melepaskan diri, meski sebenarnya pun tak pernah kita berada pada satu nama. Lama-lama kita makin menyukai kebohongan-kebohongan untuk tetap bertahan, meski sebenarnya tak pernah ada tempat untuk tinggal. Dan makin lama rasanya kita makin membunuh diri sendiri, meski sebenarnya kita ini fana, tak punya raga.

Seharusnya kau percaya padaku dari awal, bahwa kita tak bisa memulai sebuah cerita.
July 09, 2016 2 comments


Aku ingin bercerita tentang seorang wanita yang tak pernah bisa kupahami. Ia adalah wanita yang membunuh dirinya sendiri dengan rasa yang kita sebut cinta.

Ia adalah wanita sederhana meski sebenarnya ia bisa membeli apapun yang dia mau. Ia adalah wanita yang sangat lembut meski sebenarnya ia bisa marah dan menggertak. Ia adalah wanita paling sabar meski sebenarnya ia pun memiliki ego yang harus dimanjakan. Ia tidak terlihat tua meski anaknya telah remaja. Masih secantik ketika ia menerima lamaran suaminya. Masih sehebat ketika ia berjabat tangan menerima gelarnya. Masih sekuat ketika ia berkilo-kilo mengayuh sepedanya.

Ia masih sama. Seperti cintanya. Ia masih memilih orang yang sama bahkan ketika orang yang dipilihnya tak lagi melihat dirinya. Ia masih memberi cinta bahkan ketika yang ia terima hanya banyak luka. Ia masih menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja bahkan ketika semua orang mengecewakannya. Ia terus memaafkan bahkan ketika balasannya adalah kesalahan yang sama. Ia tetap saja percaya bahkan ketika ia pun tahu bahwa semuanya adalah dusta.

Aku kadang marah padanya. Kenapa dia terlalu baik hingga kadang menjadi sangat bodoh? Atau, kenapa dia begitu memelihara cintanya, padahal ia sendiri tersakiti karenanya?

Ia pernah menjawabnya, "Kamu akan tahu jawabannya ketika nanti kamu paham siapakah kamu sebenarnya, untuk apakah kamu hidup, dan selama apakah kamu harus menanggung beban dunia ini. Ketika kamu menemukan jawabannya, maka kamu akan melakukan hal yang sama"

Kau ingin tahu siapakah ia? Ia adalah wanita yang selama ini kupanggil Mama.
July 02, 2016 No comments



Aku pernah mencintai seorang laki-laki yang tak pernah memberiku bunga padahal dia bilang dia mencintaiku. Tak pernah pula dia mengatakan kata-kata manis kepadaku. Bahkan dari semua adegan drama romantis tak ada satupun yang dia lakukan.

Aku pernah bertanya-tanya, orang macam apakah dia? Dia tak pernah mengeluh ketika peluhnya jatuh, dan tak pernah jatuh ketika pijakannya runtuh. Dia tak pernah meminta disaat tak punya, tak pernah kecewa disaat rasanya tak adil baginya.

Aku mengenalnya dengan baik. Tapi ada banyak hal tentangnya yang tidak bisa kupahami. Aku tak bisa menebak apa yang dia pikirkan, apa yang akan dia lakukan, dan apa yang dia inginkan.

Dadanya selapang langit di angkasa. Dia mengajariku bagaimana caranya untuk menerima semuanya. Katanya, "Kamu harus melakukan apapun yang kamu mau, mengusahakan apapun yang kamu inginkan, dan memimpikan apapun yang kamu idamkan. Tapi ketika semua tidak terjadi sesuai harapanmu dan kamu tak bisa apa apa selain menerimanya, maka terimalah. Tidak ada yang salah dengan dirimu, tidak ada yang salah dengan keadaanmu. Itu terjadi hanya karna tuhan ingin itu terjadi. Tugasmu hanyalah menerimanya. Itu saja."
 
Jiwanya sebesar alam semesta. Dia meninggalkan semua rasa malu, rasa enggan, keangkuhan dan egonya ketika dia memohon maaf.
 
Yang selalu dia berikan padaku adalah sikap pengertian itu. Yang tak pernah habis sabarnya hanya untuk memahamiku. Yang tak menyerah ketika aku mulai lelah. Yang tak berhenti memberiku keyakinan, bahwa aku bisa.
 
Laki-laki ini benar-benar ada. Kamu akan percaya ketika benar-benar bertemu dengannya. Tatapannya yang tenang akan dengan mudah membawamu ke suasana hati yang baru. Senyumannya akan membuatmu terpaku dan tersihir saat itu juga. Tapi ketika kamu bertemu dengannya, tolong genggam erat-erat dan jangan pernah kamu biarkan dia pergi seperti yang aku lakukan.

Sekarang yang terjadi mungkin memang tak sesempurna apa yang kuinginkan, tak seperti yang kubayangkan. Tapi tak apa, karna memang beginilah hidup. Kadang terlalu sulit untuk dicurangi. Dan seperti yang dia katakan, "Ini terjadi hanya karna tuhan ingin ini terjadi".
 
Maka biarkanlah aku setuju dengan ucapan terakhirnya untukku, bahwa,"Aku tidak akan pernah menyesali ini semua."

June 25, 2016 No comments
Newer Posts

About Me

Anggun Mayasari
View my complete profile

Instagram

Categories

  • LYRIC (4)
  • POETRY PROSE (34)
  • THOUGHT (3)
  • TRAVEL DIARY (3)

Blog Archive

  • ►  2019 (4)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (29)
    • ►  September (1)
    • ►  August (2)
    • ►  July (5)
    • ►  June (8)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (2)
    • ►  July (1)
    • ►  January (1)
  • ▼  2016 (9)
    • ▼  October (3)
      • Jangan Hiraukan Kata-Kataku
      • Ingat, Kau Adalah Binatang Liar Penantang Masa Depan
      • Menyimpan Senja
    • ►  July (5)
      • Kau dan Secangkir Kopimu
      • Dan Inilah Hatiku pada Dini Hari Tanggal 5 Januari
      • Jadi Seperti Inilah Cerita Tanpa Kata-kata
      • Aku Serupa Jam 4 Pagi dan Kau Jam 10 Malam
      • Wanita yang Membunuh Dirinya Sendiri dengan Cinta
    • ►  June (1)
      • Laki-laki yang Tak Memberiku Bunga

///

Posts
Atom
Posts
All Comments
Atom
All Comments

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates