Powered by Blogger.

SANDWICH TOAST

Feelings and thoughts of mine



Sore itu aku melihatmu. Terbalut syal tipis dan coat favoritmu. Caramu menyisir rambut masih sama seperti dulu. Kau pun masih memakai sepatu pemberianku. Kau terduduk rapi di sudut kafe dengan secangkir kopi dan sepotong kue di mejamu. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Tapi, tetiba datang lagi kenangan itu di kepalaku.

Sore itu lagi-lagi aku mengingatmu. Menarik kembali ingatan-ingatan yang sebelumnya telah pergi berlalu. Tentang kau dan senyum manismu, tentang kau dan lesung pipitmu yang terus membayangiku. Sungguh aku tertegun memandangmu. Benarkah itu dirimu, mungkinkah itu benar-benar dirimu?

Sore itu aku dibuat kalah lagi olehmu. Kupikir perpisahan tiga tahun yang lalu telah menyelesaikan urusan hatiku. Kupikir tempat ini sudah cukup jauh untuk menghindarimu. Kupikir hilangnya kabarku bisa membuat kita tak lagi bertemu. Tapi sore itu, sekali lagi mataku menangkap bayangmu.

Sore masih membiarkan bulan menunggu. Aku pun masih tak bisa mengalihkan pandanganku darimu. Begitu juga kau. Tak sekalipun kau sentuh kopimu. Pun dengan kue yang mulai lelah menunggu gigitanmu. Kau hanya terdiam disana, tenggelam dalam lamunanmu. Entah apa yang sedang membebanimu, entah siapa yang tengah merenggut pikiranmu. Yang pasti, sesuatu itu bukanlah aku.

Sore itu jelas kau kembali membelah hatiku, mencabik lagi bagian-bagian yang dulu pernah terluka karenamu. Ketika kau tak mau lagi berjalan beriringan denganku. Ketika kau tak lagi menginginkan genggaman tanganku. Ketika kau memutuskan untuk tak ingin lagi bertemu denganku. Ketika kau bilang aku tak perlu lagi mengenalmu.

Sore sepertinya memang tak membiarkan waktu beranjak maju. Lantas mulai meradanglah hatiku. Kenangan-kenangan itu tetiba menyerang perasaanku. Ia lalu menusuki lagi hati yang membiru. Pedih-pedih itu datang kembali dan berhasil mengulitiku. Hingga semuanya sesak di paru, dan detik berikutnya jatuhlah air mataku. Pisau yang dulu memberiku luka kini kembali menyayatku.

Sore itu aku tak berani bahkan hanya untuk lebih lama lagi memandangmu. Kuseret kaki yang mulai kaku, kulangkahkan lagi pergiku untuk menghindarimu. Mencoba menghapus lagi dirimu dari hidupku. Mencoba meyakinkan lagi bahwa sore itu tak perlulah aku mendekatimu dan menanyaimu,

"Bagaimana kabarmu?"
July 30, 2016 No comments



Dan inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Kepingnya saling mencari peluk sisi sama sisi. Puingnya masih meraba-raba mana pasangan kanan kiri. Bukan hari ini dia rapuh melebur diri, hanya saja alarmnya berbunyi lagi -- membuatnya terkejut lalu menjatuhkan diri.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Ia terbelah jadi banyak porsi. Itu buatmu, ini buatnya, itu buat entah siapa lagi. Ia bukan ingin bermain api. Ia hanya belum sanggup lagi menyerahkan diri, membiarkan dirinya menjadi kata kerja paling dinanti. Ia masih ingin kamu mengerti, bahwa pagi ini ia tengah berusaha mengamini.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Ia merengek kesana kesini, mencoba meminta arti. Tapi tak kunjung pula kamu mengerti, bahwa ia pun belum menyadari. Jika ia adalah detik yang mengitari, ia bersemoga kamulah spasi yang memberi janji untuk nanti yang kita nanti. Jika ia adalah sesuatu yang tidak pasti, ia bersemoga kamulah titik yang mengakhiri.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Di sela kedip dan basah di pipi, ia masih mencoba berjalan kesana kemari, mencari apa yang belum disadari. Merasa perlu menangisi hal-hal yang tak kunjung ia pahami. Masih terus mencoba berdiri dan mengusap luka sendiri. Dan masih saja terlalu bodoh untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Inilah hatiku pada dini hari tanggal 5 Januari. Tak hanya hari ini ia lelah menanyai diri sendiri. Bukan pertama kali juga ia mencoba menampar pipi sendiri. Berharap seperti di tv, bahwa ia akan segera bangun dari mimpi.

Dan terus bersemoga, ia tak akan menyakiti.
July 23, 2016 No comments


Kita belum sempat berbicara. Kau bahkan belum sempat mengucapkan salam ketika pertama kali mengetuk pintu depan. Kala itu aku tengah dibuai malam, meresapi pesan-pesan dari bintang yang dibawa angin selatan. Akupun belum selesai mengartikan semuanya ketika aku mempersilakanmu untuk masuk dan berjalan mendekat.

Kita tak berbicara. Pun waktu itu ketika kau membuka kemejamu di depanku dan memperlihatkan luka di punggungmu. Kau tunjukkan pula tulang-tulangmu yang patah, kulit-kulit yang memerah. Benar di beberapa kesempatan mata kita bertemu. Aku masih ingat matamu. Mata yang berbinar ketika diterpa sinar bulan. Mata yang ingin berkata-kata. Tapi tetap saja, kita tak pernah berbicara. Kau tak pernah mengatakannya.

Kita benar-benar tak pernah berbicara. Bahkan ketika suap demi suap membuatmu sembuh, ketika teguk demi teguk menguatkanmu, hingga ketika langkah-langkah barumu mulai meninggalkan pintu itu. Bahkan kau tak pernah mengatakannya, hingga datang pagi-pagi selanjutnya tanpamu di depan pintu lagi.

Kita tak pernah berbicara. Kau tak pernah sanggup mengatakannya. Akupun tak berani menanyakannya. Lalu masih layakkah kita disebut bercinta jika hanya mata kita yang saling bercumbu? Masih pantaskah kita disebut pecinta jika semua kata-kata cinta hanya berbicara di dalam kepala kita?

Pagi tadi aku baru menyadarinya. Kau bukan pergi meninggalkanku. Dari awal kau memang tak berniat memintaku untuk menemanimu terbang. Kau datang untuk meminta pertolongan. Hingga ketika sayap-sayap itu sembuh, kau pulang.

Jadi seperti inilah cerita tanpa kata-kata. Karena ternyata memang tak ada yang perlu dikatakan
July 16, 2016 No comments


Aku serupa jam 4 pagi dan kau jam 10 malam. Hidup kita penuh dengan keheningan dan perbedaan. Kau hidup di masa laluku sedang kau melihatku sebagai masa depan, pun terkadang sebaliknya. Mereka yang gigih memilihmu untuk melelapkan mata dan memilihku untuk mulai berkarya. Tapi mereka yang tengah berada di usia 22 memilihmu untuk pergi menghadiri pesta dan memilihku untuk mengakhirinya.

Seharusnya cukup mudah untuk kita saling menatap, sejak kita berada dalam satu garis waktu yang sama. Namun kenyataannya matahari tak pernah membantu menampakkan kita, pun lampu-lampu mereka. Rasanya memang semesta tak mendukung kita.

Kita sama-sama tahu permasalahan kita. Kita buta tetapi selalu berusaha menyangkalnya. Kita tak berdaya tapi selalu berpura-pura bisa. Harusnya pun kita menghapus harap yang ada, tapi pada kenyataannya kita terus saja menumbuhkannya.

Lama-lama kita makin tak pandai melepaskan diri, meski sebenarnya pun tak pernah kita berada pada satu nama. Lama-lama kita makin menyukai kebohongan-kebohongan untuk tetap bertahan, meski sebenarnya tak pernah ada tempat untuk tinggal. Dan makin lama rasanya kita makin membunuh diri sendiri, meski sebenarnya kita ini fana, tak punya raga.

Seharusnya kau percaya padaku dari awal, bahwa kita tak bisa memulai sebuah cerita.
July 09, 2016 2 comments


Aku ingin bercerita tentang seorang wanita yang tak pernah bisa kupahami. Ia adalah wanita yang membunuh dirinya sendiri dengan rasa yang kita sebut cinta.

Ia adalah wanita sederhana meski sebenarnya ia bisa membeli apapun yang dia mau. Ia adalah wanita yang sangat lembut meski sebenarnya ia bisa marah dan menggertak. Ia adalah wanita paling sabar meski sebenarnya ia pun memiliki ego yang harus dimanjakan. Ia tidak terlihat tua meski anaknya telah remaja. Masih secantik ketika ia menerima lamaran suaminya. Masih sehebat ketika ia berjabat tangan menerima gelarnya. Masih sekuat ketika ia berkilo-kilo mengayuh sepedanya.

Ia masih sama. Seperti cintanya. Ia masih memilih orang yang sama bahkan ketika orang yang dipilihnya tak lagi melihat dirinya. Ia masih memberi cinta bahkan ketika yang ia terima hanya banyak luka. Ia masih menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja bahkan ketika semua orang mengecewakannya. Ia terus memaafkan bahkan ketika balasannya adalah kesalahan yang sama. Ia tetap saja percaya bahkan ketika ia pun tahu bahwa semuanya adalah dusta.

Aku kadang marah padanya. Kenapa dia terlalu baik hingga kadang menjadi sangat bodoh? Atau, kenapa dia begitu memelihara cintanya, padahal ia sendiri tersakiti karenanya?

Ia pernah menjawabnya, "Kamu akan tahu jawabannya ketika nanti kamu paham siapakah kamu sebenarnya, untuk apakah kamu hidup, dan selama apakah kamu harus menanggung beban dunia ini. Ketika kamu menemukan jawabannya, maka kamu akan melakukan hal yang sama"

Kau ingin tahu siapakah ia? Ia adalah wanita yang selama ini kupanggil Mama.
July 02, 2016 No comments
Newer Posts
Older Posts

About Me

Anggun Mayasari
View my complete profile

Instagram

Categories

  • LYRIC (4)
  • POETRY PROSE (34)
  • THOUGHT (3)
  • TRAVEL DIARY (3)

Blog Archive

  • ►  2019 (4)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  January (2)
  • ►  2018 (29)
    • ►  September (1)
    • ►  August (2)
    • ►  July (5)
    • ►  June (8)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (1)
    • ►  February (2)
  • ►  2017 (2)
    • ►  July (1)
    • ►  January (1)
  • ▼  2016 (9)
    • ►  October (3)
    • ▼  July (5)
      • Kau dan Secangkir Kopimu
      • Dan Inilah Hatiku pada Dini Hari Tanggal 5 Januari
      • Jadi Seperti Inilah Cerita Tanpa Kata-kata
      • Aku Serupa Jam 4 Pagi dan Kau Jam 10 Malam
      • Wanita yang Membunuh Dirinya Sendiri dengan Cinta
    • ►  June (1)

///

Posts
Atom
Posts
All Comments
Atom
All Comments

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates